KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan
kehadirat ALLAH SWT,karena atas limpahan taufik dan hidayahnyalah hingga
kelompok 2 bisa menyelesaikan makalah ini.Dalam makalah tersebut di bahas mengenai pertempuran ambarawa yang dilakukan
untuk mempertahankan kemerdekaan di daerah.kami mengucapkan banyak terimah
kasih atas semua pihak yang telah membantu hingga makalah ini bisa
terselesaikan sedemikian rupa.Terutama
kepada guru mata pelajaran (anwar,s.pd)
yang telah memberikan tugas ini.
Kami hanyalah manusia biasa yang tak
luput dari kesalahan dan kekhilafan,oleh sebab itu jika ada kesalahan-kesalahan
dari makalah yang kami buat ini, tentu
itu datangnya dari diri kami masing-masing.Sebab kesempurnaan itu hanyalah
milik ALLAH semata.Semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan atau pun
wawasan bagi para pembaca mengenai salah satu tindakan yang di lakukan rakyat
indonesia,untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa indonesia.
Kami selaku anggota dari
kelompok dua terbuka menerima kritik dan
saran yang membangun.Sebab penilaian seseorang terhadap suatu hal bisa saja
berbeda,hingga menimbulkan pro dan kontra.
Salaonro,27 april 2012
Penyusun,
KELOMPOK 2
i
DAFTAR ISI
Kata pengantar……………………………………………………………………………………. i
Daftar isi………………………………………………………………………………………………ii
BAB I
Latar belakang………………………………………………………………………………………1
BAB II
Pembahasan………………………………………………………………………………………….2
BAB III
Penutup………………………………………………………………………………………………….8
Daftar pustaka………………………………………………………………………………………11
BAB
I
LATAR
BELAKANG
Setelah berhasil mengalahkan Jepang, Komando Sekutu
Asia Tenggara di Singapura mengutus tujuh perwira Inggris di bawah pimpinan Mayor
A.G. Greenhalgh untuk datang ke Indonesia. Mereka tiba di Indonesia pada 8
September 1945 dengan tugas mempelajari dan melaporkan keadaan di Indonesia
menjelang pendaratan rombongan Sekutu.
Pada 16 September 1945 rombongan perwakilan Sekutu mendarat di
Tanjung Priok (Jakarta) dengan menggunakan kapal Cumberland. Rombongan ini
dipimpin Laksamana Muda W.R. Patterson. Dalam rombongan ini ikut pula C.H.O.
Van der Plas yang mewakili Dr. H.J. van Mook, kepala NICA. Sekutu menugaskan
sebuah komando khusus untuk mengurus Indonesia dengan nama Allied Forces
Netherlands East Indies (AFNEI). Komando khusus yang dipimpin Letjen. Sir
Philip Christison ini mempunyai tugas sebagai berikut:
1.
Menerima penyerahan kekuasaan dari tangan Indonesia.
2.
Membebaskan para tawanan perang dan interniran Sekutu.
3.
Melucuti dan memulangkan tentara Jepang.
4.
Memulihkan keamanan dan ketertiban.
5.
Mencari dan mengadili para penjahat perang.
AFNEI mulai mendaratkan pasukannya di Jakarta pada 29
September 1945. pasukan ini hanya bertugas di Sumatra da Jawa, sedangkan daerah
Indonesia lainnya diserahkan kepada Angkatan Perang Australia.
Kedatangan pasukan Sekutu ke Indonesia semula mendapat
sambutan baik. Akan tetapi, setelah diketahui mereka datang disertai
orang-orang NICA, sikap bangsa Indonesia berubah menjadi penuh kecurigaan dan
bahkan akhirnya bermusuhan. Bangsa Indonesia mengetahui bahwa NICA berniat
menegakkan kembali kekuasaannya. Situasi berubah memburuk manakala NICA
mempersenjatai kembali bekas anggota Koninklijk Nederlands Indies Leger (KNIL).
Satuan-satuan KNIL yang telah dibebaskan Jepang kemudian bergabung dengan
tentara NICA. Di berbagai daerah, NICA dan KNIL yang didukung Inggris (Sekutu)
melancarkan provokasi dan melakukan teror terhadap para pemimpin nasional
sehingga pecahlah berbagai pertempuran di daerah-daerah, salah satunya
Ambarawa.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Perjuangan heroik rakyat Indonesia dalam
mempertahankan dan memperjuangkan Kemerdekaannya sungguh tidak bisa diabaikan
begitu saja, mereka bahu membahu dengan segala golongan, mulai dari petani,
pedagang, guru, hingga para pelajar bersama dengan tentara tanpa mengenal rasa
lelah, takut serta kelaparan berjuang menghadapi desingan peluru serta
berondongan persenjataan modern milik para penjajah.
Sungguh
perjuangan yang sangat menguras tenaga dan airmata, mengorbankan segalanya baik
nyawa ataupun harta. Beribu bahkan berjuta nyawa rakyat Indonesia melayang demi
kemerdekaan bangsa ini, mereka rela menyerahkan nyawanya menjadi martir demi
anak cucunya nanti.
Seperti yang terjadi di Ambarawa, sebuah daerah yang terletak di sebelah selatan kota Semarang-Jawa Tengah, dimana rakyat beserta tentara Indonesia berjuang mempertahankan daerahnya dari cengkeraman tentara sekutu yang mencoba membebaskan para tahanan tentara Belanda ( NICA ).
Seperti yang terjadi di Ambarawa, sebuah daerah yang terletak di sebelah selatan kota Semarang-Jawa Tengah, dimana rakyat beserta tentara Indonesia berjuang mempertahankan daerahnya dari cengkeraman tentara sekutu yang mencoba membebaskan para tahanan tentara Belanda ( NICA ).
Pada tanggal 20 Oktober 1945, tentara Sekutu
di bawah pimpinan Brigadir Bethell mendarat di Semarang dengan maksud mengurus
tawanan perang dan tentara Jepang yang berada di Jawa Tengah. Kedatangan sekutu
ini diboncengi oleh NICA. Kedatangan Sekutu ini mulanya disambut baik, bahkan
Gubernur Jawa Tegah Mr. Wongsonegoro menyepakati akan menyediakan bahan makanan
dan keperluan lain bagi kelancaran tugas Sekutu, sedang Sekutu berjanji tidak
akan mengganggu kedaulatan Republik Indonesia.
Namun, ketika pasukan Sekutu dan NICA telah
sampai di Ambarawa dan Magelang untuk membebaskan para tawanan tentara Belanda,
justru mempersenjatai mereka sehingga menimbulkan amarah pihak Indonesia.
Insiden bersenjata timbul di kota Magelang, hingga terjadi pertempuran. Di
Magelang, tentara Sekutu bertindak sebagai penguasa yang mencoba melucuti
Tentara Keamanan Rakyat ( TKR ) dan membuat kekacauan. TKR Resimen Magelang
pimpinan M. Sarbini membalas tindakan tersebut dengan mengepung tentara Sekutu dari segala penjuru. Namun mereka
selamat dari kehancuran berkat campur tangan Presiden Soekarno yang berhasil
menenangkan suasana. Kemudian pasukan Sekutu secara diam-diam meninggalkan Kota
Magelang menuju ke benteng Ambarawa. Akibat peristiwa tersebut, Resimen Kedu
Tengah di bawah pimpinan Letnan Kolonel M. Sarbini segera mengadakan pengejaran
terhadap mereka. Gerakan mundur tentara Sekutu tertahan di Desa Jambu karena
dihadang oleh pasukan Angkatan Muda di bawah pimpinan Oni Sastrodihardjo yang
diperkuat oleh pasukan gabungan dari Ambarawa, Suruh dan Surakarta.
Sekutu kembali dihadang oleh Batalyon I
Suryosumpeno di Ngipik. Pada saat pengunduran, tentara Sekutu mencoba menduduki
dua desa di sekitar Ambarawa. Pasukan Indonesia di bawah pimpinan Letnan
Kolonel Isdiman berusaha membebaskan kedua desa tersebut, Letnan Kolonel
Isdiman gugur. Sejak gugurnya Letkol Isdiman, Komandan Divisi V Banyumas,
Soedirman merasa kehilangan perwira terbaiknya dan ia langsung turun ke
lapangan untuk memimpin pertempuran. Kehadiran Kolonel Sudirman memberikan
nafas baru kepada pasukan-pasukan RI. Koordinasi diadakan diantara
komando-komando sektor dan pengepungan terhadap musuh semakin ketat. Siasat
yang diterapkan adalah serangan pendadakan serentak di semua sektor. Bala
bantuan terus mengalir dari Yogyakarta, Solo, Salatiga, Purwokerto, Magelang,
Semarang, dan lain-lain.
Tanggal
23 Nopember 1945 ketika matahari mulai terbit, mulailah tembak-menembak dengan
pasukan Sekutu yang bertahan di kompleks gereja dan pekuburan Belanda di Jalan
Margo Agung. Pasukan Indonesia antara lain dari Yon Imam Adrongi, Yon Soeharto
dan Yon Sugeng. Tentara Sekutu mengerahkan tawanan-tawanan Jepang dengan
diperkuat tanknya, menyusup ke kedudukan Indonesia dari arah belakang, karena
itu pasukan Indonesia pindah ke Bedono.
Pada
tanggal 11 Desember 1945, Kolonel Soedirman mengadakan rapat dengan para
Komandan Sektor TKR dan Laskar. Pada tanggal 12 Desember 1945 jam 04.30 pagi,
serangan mulai dilancarkan. Pertempuran berkobar di Ambarawa. Satu setengah jam
kemudian, jalan raya Semarang-Ambarawa dikuasai oleh kesatuan-kesatuan TKR.
Pertempuran Ambarawa berlangsung sengit, Kolonel Soedirman langsung memimpin
pasukannya yang menggunakan taktik gelar supit urang, atau pengepungan rangkap
sehingga musuh benar-benar terkurung. Suplai dan komunikasi dengan pasukan
induknya terputus sama sekali. Setelah bertempur selama 4 hari, pada tanggal 15
Desember 1945 pertempuran berakhir dan Indonesia berhasil merebut Ambarawa dan
Sekutu dibuat mundur ke Semarang.
Kedahsyatan
Palagan Ambarawa juga tercermin dalam laporan pihak Inggris yang menulis: “The
battle of Ambarawa had been a fierce struggle between Indonesian troops and
Pemuda and, on the other hand, Indian soldiers, assisted by a Japanese
company….” Yang juga ditambahi dengan kalimat, “The British had bombed Ungaran
intensively to open the road and strafed Ambarawa from air repeatedly. Air
raids too had taken place upon Solo and Yogya, to destroy the local radio
stations, from where the fighting spirit was sustained…”
Kemenangan pertempuran ini kini diabadikan dengan didirikannya Monumen Palagan Ambarawa dan diperingatinya Hari Jadi TNI Angkatan Darat atau Hari Juang Kartika.
Kemenangan pertempuran ini kini diabadikan dengan didirikannya Monumen Palagan Ambarawa dan diperingatinya Hari Jadi TNI Angkatan Darat atau Hari Juang Kartika.
Dan
hingga kini, darah pejuang yang membasahi bumi Ambarawa adalah bukti dari
keteguhan serta pengorbanan untuk mempertahankan harga diri bangsa yang harus
tetap kita pertahankan sampai kapanpun.
== Kronologi peristiwa ==
Pada tanggal [[20 Oktober]] [[1945]],
tentara Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Bethell mendarat di Semarang dengan
maksud mengurus tawanan perang dan tentara Jepang yang berada di Jawa Tengah.
Kedatangan sekutu ini diboncengi oleh [[NICA]]. Kedatangan Sekutu ini mulanya
disambut baik, bahkan Gubernur Jawa Tengah [[Wongsonegoro|Mr Wongsonegoro]]
menyepakati akan menyediakan bahan makanan dan keperluan lain bagi kelancaran
tugas Sekutu, sedang Sekutu berjanji tidak akan mengganggu kedaulatan Republik
Indonesia.
Namun, ketika pasukan Sekutu dan NICA telah sampai di [[Ambarawa]] dan
Magelang untuk membebaskan para tawanan tentara Belanda, para tawanan tersebut
malah dipersenjatai sehingga menimbulkan kemarahan pihak Indonesia. Insiden
bersenjata timbul di kota [[Magelang]], hingga terjadi pertempuran. Di
Magelang, tentara Sekutu bertindak sebagai penguasa yang mencoba melucuti
[[Tentara Keamanan Rakyat]] dan membuat kekacauan. TKR Resimen Magelang
pimpinan Letkol. [[M. Sarbini]] membalas tindakan tersebut dengan mengepung
tentara Sekutu dari segala penjuru. Namun mereka selamat dari kehancuran berkat
campur tangan Presiden [[Soekarno]] yang berhasil menenangkan suasana. Kemudian
pasukan Sekutu secara diam-diam meninggalkan Kota Magelang menuju ke benteng
Ambarawa. Akibat peristiwa tersebut, Resimen Kedu Tengah di bawah pimpinan
Letkol. M. Sarbini segera mengadakan pengejaran terhadap mereka. Gerakan mundur
tentara Sekutu tertahan di Desa Jambu karena dihadang oleh pasukan Angkatan
Muda di bawah pimpinan [[Oni Sastrodihardjo]] yang diperkuat oleh pasukan
gabungan dari Ambarawa, Suruh dan Surakarta.
Tentara Sekutu kembali dihadang oleh
Batalyon I [[Soerjosoempeno]] di Ngipik. Pada saat pengunduran, tentara Sekutu
mencoba menduduki dua desa di sekitar Ambarawa. Pasukan Indonesia di bawah
pimpinan Letkol. [[Isdiman]] berusaha membebaskan kedua desa tersebut, namun ia
keburu gugur terlebih dahulu. Sejak gugurnya Letkol. Isdiman, Komandan Divisi V
Banyumas, Kol. [[Soedirman]] merasa kehilangan seorang perwira terbaiknya dan ia
langsung turun ke lapangan untuk memimpin pertempuran. Kehadiran Kol. Soedirman
memberikan napas baru kepada pasukan-pasukan RI. Koordinasi diadakan di antara
komando-komando sektor dan pengepungan terhadap musuh semakin ketat. Siasat
yang diterapkan adalah serangan pendadakan serentak di semua sektor. Bala
bantuan terus mengalir dari [[Yogyakarta]], [[Solo]], Salatiga, [[Purwokerto]],
Magelang, [[Semarang]], dan lain-lain.
Tanggal [[23 November]] [[1945]]
ketika matahari mulai terbit, mulailah tembak-menembak dengan pasukan Sekutu
yang bertahan di kompleks gereja dan kerkhop Belanda di Jl. Margo Agoeng.
Pasukan Indonesia terdiri dari Yon. [[Imam Adrongi]], Yon. [[Soeharto]] dan
Yon. [[Soegeng]]. Tentara Sekutu mengerahkan tawanan-tawanan Jepang dengan diperkuat
tanknya, menyusup ke tempat kedudukan Indonesia dari arah belakang, karena itu
pasukan Indonesia pindah ke Bedono.
Pertempuran Ambarawa berlangsung empat hari, dari 13-15 Desember 1945.
Semangat juang pasukan TKR menjadi penentu kemenangan dalam melawan musuh.Awal
Pertempuran
Perjuangan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang dipimpin Jenderal Soedirman pada pertengahan Desember 1945, membuat tentara sekutu terjepit dan akhirnya mundur dari Ambarawa menuju Semarang. Walaupun dihadang dengan seluruh kekuatan persenjataan modern serta kemampuan taktik dan strategi sekutu, para pejuang RI tak pernah gentar sedikitpun. Mereka melancarkan serangan dengan gigih seraya melakukan pengepungan ketat di semua penjuru kota Ambarawa. Dengan gerakan pengepungan rangkap ini sekutu benar-benar terkurung dan kewalahan.
Jenderal Soedirman sebagai pemimpin pasukan menegaskan perlunya mengusir tentara sekutu dan Ambarawa secepat mungkin. Sebab sekutu akan menjadikan Ambarawa sebagai basis kekuatan untuk merebut Jawa Tengah. Dengan semboyan “Rawe-rawe rantas malang-malang putung, patah tumbuh hilang berganti”, pasukan TKR memiliki tekad bulat membebaskan Ambarawa atau dengan pilihan lain gugur di pangkuan ibu pertiwi.
Perjuangan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang dipimpin Jenderal Soedirman pada pertengahan Desember 1945, membuat tentara sekutu terjepit dan akhirnya mundur dari Ambarawa menuju Semarang. Walaupun dihadang dengan seluruh kekuatan persenjataan modern serta kemampuan taktik dan strategi sekutu, para pejuang RI tak pernah gentar sedikitpun. Mereka melancarkan serangan dengan gigih seraya melakukan pengepungan ketat di semua penjuru kota Ambarawa. Dengan gerakan pengepungan rangkap ini sekutu benar-benar terkurung dan kewalahan.
Jenderal Soedirman sebagai pemimpin pasukan menegaskan perlunya mengusir tentara sekutu dan Ambarawa secepat mungkin. Sebab sekutu akan menjadikan Ambarawa sebagai basis kekuatan untuk merebut Jawa Tengah. Dengan semboyan “Rawe-rawe rantas malang-malang putung, patah tumbuh hilang berganti”, pasukan TKR memiliki tekad bulat membebaskan Ambarawa atau dengan pilihan lain gugur di pangkuan ibu pertiwi.
Peristiwa Pertempuran Ambarawa
Serangan pembebasan Ambarawa yang berlangsung selama empat hari empat malam dilancarkan dengan penuh semangat pantang mundur. Dari tanggal 12 hingga 15 Desember 1945, para pejuang tidak menghiraukan desingan-desingan peluru maut dan lawan.
Letusan tembakan sebagai isyarat dimulainya serangan umum pembebasan Ambarawa, terdengar tepat pukul 04.30 WIB pada 12 Desember 1945. Pejuang yang telah bersiap-siap di seluruh penjuru Ambarawa mulai merayap mendekati sasaran yang telah ditentukan, dengan siasat penyerangan mendadak secara serentak di segala sektor. Seketika, dan segala penjuru Ambarawa penuh suara riuh desingan peluru, dentuman meriam, dan ledakan granat. Serangan dadakan tersebut diikuti serangan balasan musuh yang kalang kabut.
Serangan pembebasan Ambarawa yang berlangsung selama empat hari empat malam dilancarkan dengan penuh semangat pantang mundur. Dari tanggal 12 hingga 15 Desember 1945, para pejuang tidak menghiraukan desingan-desingan peluru maut dan lawan.
Letusan tembakan sebagai isyarat dimulainya serangan umum pembebasan Ambarawa, terdengar tepat pukul 04.30 WIB pada 12 Desember 1945. Pejuang yang telah bersiap-siap di seluruh penjuru Ambarawa mulai merayap mendekati sasaran yang telah ditentukan, dengan siasat penyerangan mendadak secara serentak di segala sektor. Seketika, dan segala penjuru Ambarawa penuh suara riuh desingan peluru, dentuman meriam, dan ledakan granat. Serangan dadakan tersebut diikuti serangan balasan musuh yang kalang kabut.
Akhir pertempuran
Sekitar pukul 16.00 WIB, TKR berhasil menguasai Jalan Raya Ambarawa Semarang, dan pengepungan musuh dalam kota Ambarawa berjalan dengan sempurna. Terjadilah pertempuran jarak dekat. Musuh mulai mundur pada 14 Desember 1945. Persediaan logistik maupun amunisi musuh sudah jauh berkurang.
Akhirnya, pasukan sekutu mundur dan Ambarawa sambil melancarkan aksi bumi hangus pada 15 Desember 1945, pukul 17.30 WIB. Pertempuran berakhir dengan kemenangan gemilang pada pihak TKR. Pasukan TKR berhasil merebut benteng pertahanan sekutu yang tangguh. Kemenangan pertempuran Ambarawa pada 15 Desember 1945. Keberhasilan Panglima Besar Jenderal Soedirman ini kemudian diabadikan dalam bentuk monumen Palagan Ambarawa. TNI AD memperingati tanggal tersebut setiap tahun sebagai Hari Infanteri.
Sekitar pukul 16.00 WIB, TKR berhasil menguasai Jalan Raya Ambarawa Semarang, dan pengepungan musuh dalam kota Ambarawa berjalan dengan sempurna. Terjadilah pertempuran jarak dekat. Musuh mulai mundur pada 14 Desember 1945. Persediaan logistik maupun amunisi musuh sudah jauh berkurang.
Akhirnya, pasukan sekutu mundur dan Ambarawa sambil melancarkan aksi bumi hangus pada 15 Desember 1945, pukul 17.30 WIB. Pertempuran berakhir dengan kemenangan gemilang pada pihak TKR. Pasukan TKR berhasil merebut benteng pertahanan sekutu yang tangguh. Kemenangan pertempuran Ambarawa pada 15 Desember 1945. Keberhasilan Panglima Besar Jenderal Soedirman ini kemudian diabadikan dalam bentuk monumen Palagan Ambarawa. TNI AD memperingati tanggal tersebut setiap tahun sebagai Hari Infanteri.
BAB
III
PENUTUP
Setelah bertempur selama 4 hari, pada tanggal 15 Desember 1945
pertempuran berakhir dan Indonesia berhasil merebut Ambarawa dan Sekutu dibuat
mundur ke Semarang. Kemenangan pertempuran ini kini diabadikan dengan
didirikannya Monumen Palagan Ambarawa dan diperingatinya Hari Jadi TNI Angkatan
Darat atau Hari Juang Kartika atau Hari Infanteri.
Jenderal Soedirman merupakan salah
satu tokoh paling populer dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Ia adalah
panglima TNI yang pertama, tokoh agama, pendidik, tokoh Muhammadiyah sekaligus
pelopor perang gerilya di Indonesia. Jenderal Soedirman juga salah satu
jenderal bintang lima di Indonesia selain Jenderal AH Nasution, dan Jenderal
Soeharto. Beliau lahir di Bodas Karangjati, Purbalingga, Jawa Tengah, tanggal
24 Januari 1916 dan meninggal di Magelang, Jawa Tengah, 29 Januari 1950 pada
umur 34 tahun karena penyakit tuberkulosis dan dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Kusuma Negara di Semaki, Yogyakarta.
Jenderal Soedirman lahir dan dibesarkan dalam keluarga sederhana. Ayahnya, Karsid Kartowirodji, adalah seorang pekerja di Pabrik Gula Kalibagor, Banyumas, dan ibunya, Siyem, adalan keturunan Wedana Rembang. Soedirman sejak umur 8 bulan diangkat sebagai anak oleh R. Tjokrosoenaryo, seorang asisten Wedana Rembang yang masih merupakan saudara dari Siyem. Jenderal Soedirman memperoleh pendidikan formal dari Sekolah Taman Siswa. Kemudian ia melanjut ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Surakarta tapi tidak sampai tamat. Soedirman saat itu juga giat di organisasi Pramuka Hizbul Wathan. Setelah itu ia menjadi guru di sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap.
Pengetahuan militernya diperoleh dari pasukan Jepang melalui pendidikan. Setelah menyelesaikan pendidikan di PETA, ia menjadi Komandan Batalyon di Kroya, Jawa Tengah. Kemudian ia menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TKR). Soedirman dikenal memiliki pribadi yang teguh pada prinsip dan keyakinan, Ia selalu mengutamakan kepentingan orang banyak banyak dan bangsanya di atas kepentingan pribadinya, bahkan kepentingan kesehatannya sendiri. Pribadinya tersebut ditulis dalam sebuah buku oleh Tjokropranolo, pengawal pribadinya semasa gerilya, sebagai seorang yang selalu konsisten dan konsekuen dalam membela kepentingan tanah air, bangsa, dan negara. Pada masa pendudukan Jepang ini, Soedirman pernah menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Karesidenan Banyumas. Dalam saat ini ia mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan.
Setelah Perang Dunia II berakhir, Jepang menyerah tanpa syarat kepada Pasukan Sekutu. Momen tersebut digunakan Soekarno untuk mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Soedirman dan pasukannya bertempur di Banyumas, Jawa Tengah melawan Jepang dan berhasil merebut senjata dan amunisi. Saat itu pasukan Jepang posisinya masih kuat di Indonesia. Soedirman mengorganisir batalyon PETA-nya menjadi sebuah resimen yang bermarkas di Banyumas, untuk menjadi pasukan perang Republik Indonesia yang selanjutnya berperan besar dalam perang Revolusi Nasional Indonesia.
Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia kemudian diangkat menjadi Panglima Divisi V/Banyumas dengan pangkat Kolonel. Dan melalui Konferensi TKR tanggal 12 November 1945, Soedirman terpilih menjadi Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan Perang RI. Selanjutnya dia mulai menderita penyakit tuberkulosis, namun dia tetap terjun dalam beberapa perang gerilya melawan pasukan NICA Belanda yang ingin menguasai Indonesia kembali setelah Jepang menyerah.
Perang besar pertama yang dipimpin Soedirman adalah perang Palagan Ambarawa melawan pasukan Inggris dan NICA Belanda yang berlangsung dari bulan November sampai Desember 1945. Pada Desember 1945, pasukan TKR yang dipimpin oleh Soedirman terlibat pertempuran melawan tentara Inggris di Ambarawa. Dan pada tanggal 12 Desember 1945, Soedirman melancarkan serangan serentak terhadap semua kedudukan Inggris di Ambarawa. Pertempuran terkenal yang berlangsung selama lima hari tersebut diakhiri dengan mundurnya pasukan Inggris ke Semarang. Perang tersebut berakhir tanggal 16 Desember 1945. Setelah kemenangan Soedirman dalam Palagan Ambarawa, pada tanggal 18 Desember 1945 dia dilantik sebagai Jenderal oleh Presiden Soekarno. Soedirman memperoleh pangkat Jenderal tersebut tidak melalui sistem Akademi Militer atau pendidikan tinggi lainnya, tapi karena prestasinya.
Jendral Soedirman tetap terjun ke medan perang saat terjadi agresi militer Belanda II di Ibukota Yogyakarta. Saat itu Ibukota RI dipindahkan ke Yogya karena Jakarta sudah dikuasai Belanda.Soedirman memimpin pasukannya untuk membela Yogyakarta dari serangan Belanda tanggal 19 Desember 1948 tersebut. Dalam perlawanan tersebut, Kondisi kesehatan Jenderal Soedirman sudah dalam keadaan sangat lemah karena penyakit tuberkulosis yang dideritanya sejak lama. Yogyakarta pun kemudian dikuasai Belanda, walaupun sempat dikuasai oleh tentara Indonesia setelah Serangan Umum 1 Maret 1949. Saat itu, Presiden Soekarno dan Mohammad Hatta dan beberapa anggota kabinet juga ditangkap oleh tentara Belanda. Karena situasi genting tersebut, Soedirman dengan ditandu berangkat bersama pasukannya dan kembali melakukan perang gerilya.
Ia berpindah-pindah selama tujuh bulan dari hutan satu ke hutan lain, dan dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit hampir tanpa pengobatan dan perawatan medis. Soedirman pulang dari gerilya tersebut karena kondisi kesehatannya yang tidak memungkinkannya untuk memimpin Angkatan Perang secara langsung. Setelah itu Soedirman hanya menjadi tokoh perencana di balik layar dalam kampanye gerilya melawan Belanda. Setelah Belanda menyerahkan kepulauan nusantara sebagai Republik Indonesia Serikat dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949 di Den Haag, Jenderal Soedirman kembali ke Jakarta bersama Presiden Soekarno, dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Pada tangal 29 Januari 1950, Jenderal Soedirman meninggal dunia di Magelang, Jawa Tengah karena sakit tuberkulosis parah yang dideritanya. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara di Semaki, Yogyakarta. Ia dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan. Pada tahun 1997 dia mendapat gelar sebagai Jenderal Besar Anumerta dengan bintang lima, pangkat yang hanya dimiliki oleh beberapa jenderal di RI sampai sekarang.
Jenderal Soedirman lahir dan dibesarkan dalam keluarga sederhana. Ayahnya, Karsid Kartowirodji, adalah seorang pekerja di Pabrik Gula Kalibagor, Banyumas, dan ibunya, Siyem, adalan keturunan Wedana Rembang. Soedirman sejak umur 8 bulan diangkat sebagai anak oleh R. Tjokrosoenaryo, seorang asisten Wedana Rembang yang masih merupakan saudara dari Siyem. Jenderal Soedirman memperoleh pendidikan formal dari Sekolah Taman Siswa. Kemudian ia melanjut ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Surakarta tapi tidak sampai tamat. Soedirman saat itu juga giat di organisasi Pramuka Hizbul Wathan. Setelah itu ia menjadi guru di sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap.
Pengetahuan militernya diperoleh dari pasukan Jepang melalui pendidikan. Setelah menyelesaikan pendidikan di PETA, ia menjadi Komandan Batalyon di Kroya, Jawa Tengah. Kemudian ia menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TKR). Soedirman dikenal memiliki pribadi yang teguh pada prinsip dan keyakinan, Ia selalu mengutamakan kepentingan orang banyak banyak dan bangsanya di atas kepentingan pribadinya, bahkan kepentingan kesehatannya sendiri. Pribadinya tersebut ditulis dalam sebuah buku oleh Tjokropranolo, pengawal pribadinya semasa gerilya, sebagai seorang yang selalu konsisten dan konsekuen dalam membela kepentingan tanah air, bangsa, dan negara. Pada masa pendudukan Jepang ini, Soedirman pernah menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Karesidenan Banyumas. Dalam saat ini ia mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan.
Setelah Perang Dunia II berakhir, Jepang menyerah tanpa syarat kepada Pasukan Sekutu. Momen tersebut digunakan Soekarno untuk mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Soedirman dan pasukannya bertempur di Banyumas, Jawa Tengah melawan Jepang dan berhasil merebut senjata dan amunisi. Saat itu pasukan Jepang posisinya masih kuat di Indonesia. Soedirman mengorganisir batalyon PETA-nya menjadi sebuah resimen yang bermarkas di Banyumas, untuk menjadi pasukan perang Republik Indonesia yang selanjutnya berperan besar dalam perang Revolusi Nasional Indonesia.
Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia kemudian diangkat menjadi Panglima Divisi V/Banyumas dengan pangkat Kolonel. Dan melalui Konferensi TKR tanggal 12 November 1945, Soedirman terpilih menjadi Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan Perang RI. Selanjutnya dia mulai menderita penyakit tuberkulosis, namun dia tetap terjun dalam beberapa perang gerilya melawan pasukan NICA Belanda yang ingin menguasai Indonesia kembali setelah Jepang menyerah.
Perang besar pertama yang dipimpin Soedirman adalah perang Palagan Ambarawa melawan pasukan Inggris dan NICA Belanda yang berlangsung dari bulan November sampai Desember 1945. Pada Desember 1945, pasukan TKR yang dipimpin oleh Soedirman terlibat pertempuran melawan tentara Inggris di Ambarawa. Dan pada tanggal 12 Desember 1945, Soedirman melancarkan serangan serentak terhadap semua kedudukan Inggris di Ambarawa. Pertempuran terkenal yang berlangsung selama lima hari tersebut diakhiri dengan mundurnya pasukan Inggris ke Semarang. Perang tersebut berakhir tanggal 16 Desember 1945. Setelah kemenangan Soedirman dalam Palagan Ambarawa, pada tanggal 18 Desember 1945 dia dilantik sebagai Jenderal oleh Presiden Soekarno. Soedirman memperoleh pangkat Jenderal tersebut tidak melalui sistem Akademi Militer atau pendidikan tinggi lainnya, tapi karena prestasinya.
Jendral Soedirman tetap terjun ke medan perang saat terjadi agresi militer Belanda II di Ibukota Yogyakarta. Saat itu Ibukota RI dipindahkan ke Yogya karena Jakarta sudah dikuasai Belanda.Soedirman memimpin pasukannya untuk membela Yogyakarta dari serangan Belanda tanggal 19 Desember 1948 tersebut. Dalam perlawanan tersebut, Kondisi kesehatan Jenderal Soedirman sudah dalam keadaan sangat lemah karena penyakit tuberkulosis yang dideritanya sejak lama. Yogyakarta pun kemudian dikuasai Belanda, walaupun sempat dikuasai oleh tentara Indonesia setelah Serangan Umum 1 Maret 1949. Saat itu, Presiden Soekarno dan Mohammad Hatta dan beberapa anggota kabinet juga ditangkap oleh tentara Belanda. Karena situasi genting tersebut, Soedirman dengan ditandu berangkat bersama pasukannya dan kembali melakukan perang gerilya.
Ia berpindah-pindah selama tujuh bulan dari hutan satu ke hutan lain, dan dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit hampir tanpa pengobatan dan perawatan medis. Soedirman pulang dari gerilya tersebut karena kondisi kesehatannya yang tidak memungkinkannya untuk memimpin Angkatan Perang secara langsung. Setelah itu Soedirman hanya menjadi tokoh perencana di balik layar dalam kampanye gerilya melawan Belanda. Setelah Belanda menyerahkan kepulauan nusantara sebagai Republik Indonesia Serikat dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949 di Den Haag, Jenderal Soedirman kembali ke Jakarta bersama Presiden Soekarno, dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Pada tangal 29 Januari 1950, Jenderal Soedirman meninggal dunia di Magelang, Jawa Tengah karena sakit tuberkulosis parah yang dideritanya. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara di Semaki, Yogyakarta. Ia dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan. Pada tahun 1997 dia mendapat gelar sebagai Jenderal Besar Anumerta dengan bintang lima, pangkat yang hanya dimiliki oleh beberapa jenderal di RI sampai sekarang.